Blogger Jateng

SAJADAH

Dul u waktu pertama kali belajar shalat, senang sekali punya sajadah sendiri. Kalo ke masjid suka membanding bandingkan motifnya dengan teman-teman. Setalah besar hal tesebut jadi barang biasa, namun tetap penting karena masjid di desa biasanya kurang bersih lantainya. Jadi fungsinya jelas, yaitu untuk menghalangi kotoran agar tidak menempel di dahi, telapak tangan, kaki dan lutut (tentunya tertutup celana ataupun sarung) sewaktu sujud maupun duduk.


Tambah kesini, lantai masjid terbuat dari keramik ataupun dilapisi dengan karpet. Kesadaran akan kebersihan juga meningkat. Jadi lantai masjid kemungkina besar bersih. Kenapa masih banyak saja orang bawa sajadah untuk shalat. Mungkin fungsinya agar dahi tidak terlalu sakit sewaktu sujud karena lantai terbuat dari keramik yang keras ataupun karpet-yang mayoritas teksturnya kasar. Tapi fungsinya tetap sebagai alas.


Pernah dengar juga, ada juga yang berpendapat sajadah itu bid’ah. Mungkin hal tersebut benar kalo pendapat orang jadi begini ” Wajib pake sajadah kalo shalat”. Namun kalo fungsinya sekedar alas, vonis bid’ah tersebut bisa jadi analog dengan naik mobil atau motor. Alasan vonis bid’ahnya karena di zaman Rasulullah tidak ada.

Tapi setelah diperhatikan, ternyata pemakaian sajadah, terutama yang berukuran jumbo, menjadikan shafnya kurang sempurna. Shaf tidak rapat dan sering kali tidak lurus. Karena batas daerah tempat dia berdiri sewaktu shalat adalah sajadahnya tesebut. Seharusnya shaf kan rapat dan lurus. Kalo begini fungi sajadah malah mengurangi nilai shalat kan? Tapi ada juga yang meletakkan sajadahnya dengan posisi melebar, kalo yang ini tidak menggangu shaf shalat. Malah hitung-hitung membagi rizqi dengan orang lain.

Yang paling parah, pernah dengar suatu cerita (kurang jelas apakah ini kisah nyata atau sekedar lelucon untuk menyindir), orang tidak khusuk shalatnya karena sibuk mengurusi sajadahnya yang tertumpuk. Jadi karena sajadah si A tertindih sajadah si B, maka sambil shalat si A membetulkan posisi sajadahnya agar berada di atas. Si B pun tidak mau terima, melakukan hal yang sama. Hal tersebut berlangsung sampe akhir shalat. Nah setelah shalat mereka jadi tidak rukun. Kalo yang seperti ini lebih baik tidak pake sajadah.

Tapi di Indonesia banyak terjadi, meributkan hal pendukung, malah mengurangi nilai hal yang utama. Meributkan sunnah malah meninggalkan yang wajib. Contoh: orang ribut dalam pelaksanaan Shalat Ied (shalat sunnah) malah menjadikan perpecahan ummat (kerukunan ummat adalah hal wajib bukan?). Semoga rakyat indonesia makin dewasa dalam menyikapi perbedaan. Amiien